Adalah sebuah hal yang lumrah ketika rencana yang kita rancang tidak berjalan dengan baik. Bahkan dalam keseharian kita, banyak hal terjadi di luar dugaan dan kadang membuat kita kecewa, mungkin juga karena kita memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, terlalu sempurna. Ekspektasi yang terlalu tinggi ini, apabila kemudian tidak ditangani dengan baik, akan berubah menjadi kemarahan dan kepahitan.

Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh gangguan atas rencana kita ini kadang di luar kuasa dan kehendak kita. Tidak ada orang yang menginginkan menjadi sakit atau tiba-tiba kehilangan orang yang dikasihi. Belum lagi kondisi keuangan yang sulit, konflik dengan sahabat atau keluarga. Kadang ketika kita mengalami hal-hal ini, yang kita lihat hanyalah sisi buruknya. Seolah-olah semunya hanya bertujuan untuk membuat kita patah arang, membuat hidup lebih sulit dan mengacaukan semua rencana kita. Bersyukur? Hal ini seakan-akan menjadi sesuatu yang terakhir dalam pikiran kita.

Yang tidak kita lihat adalah sisi lain dari ketidaknyamanan ini, alasan-alasan mengapa Tuhan mengijinkan kita mengalami hal-hal tersebut. Ketidaknyamanan yang diijinkan Tuhan terjadi, bisa jadi merupakan caraNya untuk melindungi kita dari bahaya yang tidak kelihatan bagi kita. Satu video favorit saya mungkin bisa menjadi renungan bagi kita untuk belajar percaya akan hal ini.

[youtube=https://www.youtube.com/watch?v=fb7jd4jFBBA]

Kita mengeluh karena sebuah batu mengenai kita tanpa melihat bahwa Tuhan berusaha menghindarkan kita dari hujan batu-batu lain. Layakkah kita marah? Atau  sebaliknya, bersyukurkah kita karena Tuhan menghalau hujan batu itu untuk kita?

Belas kasih dan pengampunanNya tercermin melalui ketidaknyaman yang kita alami. Lazarus yang menderita sakit kemudian meninggal tidak dengan segera dibangkitkan oleh Yesus. Alkitab mencatat: Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada (Yoh. 11:6). Mengapa Yesus terkesan mengulur-ulur waktu? Hal ini Ia lakukan, bukan tanpa alasan. “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (Yoh 11:4) Tujuan dari penyakit dan kematian Lazarus ternyata digunakan Allah untuk menunjukkan kuasaNya. Kalau Lazarus tidak meninggal karena sakitnya, tidak akan ada Lazarus yang bangkit.

Skenario yang kita susun dan tidak berjalan sesuai yang kita harapkan dapat juga merupakan awal dari sesuatu yang lebih besar dari yang kita rancang sebelumnya. Yosep sudah merencanakan untuk menceraikan Maria dengan diam-diam (Matius 1:20) ketika ia mengetahui Maria mengandung. Mengurus bayi yang bukan berasal dari dirinya sendiri tidak termasuk dalam rencananya. Namun Allah punya rencana melalui peristiwa ini, yang jauh lebih besar, yaitu keselamatan bagi seluruh umat manusia! Demikian halnya dengan Yusuf. Tidak ada orang yang merencanakan untuk tinggal di tempat lain karena dibenci dan dijual oleh saudara kandung sendiri. Namun, terkait kelaparan yang terjadi pada masa itu, “untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku (Yusuf) mendahului kamu (saudara-saudaranya).” (Kej. 45:5b). Petrus yang lelah setelah seharian berusaha menangkap ikan, harus gondok ketika Yesus menyuruhnya untuk “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan. (Luk. 5:4b)”. Apakah Yesus seorang nelayan yang lebih tahu medan saat itu dibandingkan Petrus? Namun dengan taat, mereka melakukan apa yang disuruh Yesus, “dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. (Luk 5: 6)”

Maksud lain dari ketidaknyamanan ini adalah untuk menguji reaksi kita terhadap kesulitan yang kita hadapi. Contoh yang baik ditunjukkan oleh Ayub. Masalah yang dialami Ayub begitu berat sampai-sampai “mereka (ketiga sahabat Ayub) duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya.” (Ayub 2:13) Apa yang Ayub lakukan dalam penderitannya? Ia tidak lantas mengutuk Allah seperti yang disarankan oleh istrinya (Ayub 2:9). Walaupun ia sempat marah kepada orang di sekelilingnya dan kepada Allah, ia sadar bahwa dengan berlaku demikian tidak mampu memperbaiki penderitannya dan menuntunnya untuk merendahkan diri di hadapan Allah.

Belajar dari Ayub pula, kita mengetahui bahwa segala sesuatu diijinkan terjadi dalam hidup kita bukan tanpa alasan. Allah begitu bangga akan Ayub sehingga Ia mengijinkan Ayub berada dalam kuasa Iblis. Kita yakin bahwa apapun alasan ketidaknyamanan itu terjadi, mampu membuat kita semakin serupa dengan Yesus. Dengan demikian, dalam keadaan sulit pun, kita akan selalu punya alasan dan dengan percaya diri mampu bersyukur kepadaNya (1 Tes. 5:18).

Disunting dari Our Daily Bread January28th 2013